JAYAPURA (LINTAS PAPUA) - Kebebasan pers di Papua masih menjadi isu yang krusial. Pada tahun 2022 AJI Indonesia mendokumentasikan kasus serangan ke jurnalis di Jayapura dan Papua Barat sebanyak empat kasus dengan tujuh jurnalis sebagai korban. Kasus-kasus tersebut meliputi penyensoran, pelaporan pemidanaan, kekerasan seksual, dan kekerasan fisik, masing-masing satu kasus. Jumlah ini naik dibandingkan tahun 2021 dengan tiga kasus dan tiga korban. Tingkat kekerasan yang tinggi ini menjadi gambaran bahwa perlindungan terhadap jurnalis di Jayapura masih rendah.
Tidak hanya kekerasan, stigma negatif terhadap jurnalis asli di Jayapura juga masih melekat. AJI Indonesia juga menemukan sejumlah persoalan yang dapat menghambat kerja-kerja jurnalis di Jayapura dan Papua Barat. Di antaranya, rasisme, pemadaman internet, pembatasan jurnalis asing hingga persoalan etik dan profesionalisme jurnalis di Jayapura.
Terkait dengan akses internet, pada 9 Maret 2023 terjadi gangguan telekomunikasi di kota hingga kabupaten Jayapura. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat menggunakan layanan telepon seluler hingga pukul 10.15 WIT. Sementara layanan jaringan internet terganggu selama tujuh jam yakni dari pukul 08.15 hingga 15.00 WIT.
Hal tersebut merupakan salah satu dari hasil rekomendasi di tahun 2022 yang tidak berjalan. Bahwa ketersediaan akses internet di Jayapura masih sangat minim. Akses internet yang mati tentunya bukan kali pertama terjadi. Dari catatan AJI Jayapura, sudah terjadi tujuh kali gangguan jaringan telekomunikasi dalam rentang tahun 2015 hingga 2023.
Pemberian akses terhadap jurnalis asing juga masih terjadi. Berdasarkan Laporan Human Right Watch (HRW) 3 pada 2015 menyebutkan pemerintah Indonesia membatasi akses bagi jurnalis asing yang ingin meliput ke Jayapura. Pembatasan tersebut bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 10 Mei 2015 yang menjamin media internasional memiliki akses ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk Jayapura. HRW mewawancarai 107 wartawan, editor, penerbit dan LSM Lokal-Internasional untuk membuat laporan tersebut. Hasilnya beberapa koresponden asing menjelaskan proses permohonan izin liputan ke Jayapura tidak jelas dan tidak dapat diprediksi, menunggu berbulan-bulan hingga tahunan untuk mendapat persetujuan.
Terkait dengan persoalan etik, sejumlah media di Jayapura dinilai masih kurang kritis dan tidak memiliki perspektif yang menghargai Hak Asasi Manusia dalam memberitakan berbagai peristiwa di Jayapura. Sejumlah jurnalis juga terbiasa mengandalkan satu narasumber yakni Polri atau TNI. Pemberitaan yang berkaitan dengan isu pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan hidup masih kurang mendapatkan ruang dalam pemberitaan di media. Dan, yang juga menjadi sorotan adalah sejumlah media siber ditemukan hanya dikelola satu atau beberapa orang saja. Akibatnya antara manajemen (pencari iklan) dengan redaksi tidak dapat dibedakan.
Kasus lain yang baru saja terjadi pada Januari 2023 adalah teror terhadap, jurnalis Jubi, Victor Mambor. Ia diteror dengan sebuah bom rakitan yang meledak tepat di samping rumahnya di Jayapura, Papua. Bom meledak di pinggir jalan yang berjarak hanya sekitar tiga meter dari dinding rumah Victor, di Kelurahan Angkasapura, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura. Peristiwa ledakan terjadi sekitar pukul 04.00 WIT.
Victor mengungkapkan saat terjadi ledakan, dinding rumahnya bergetar seperti terjadi gempa bumi. Dia pun memeriksa sumber ledakan dan tercium bau belerang yang berasal dari samping rumah. Ternyata terdapat bekas ledakan pada jalan, yang jaraknya hanya tiga meter dari dinding rumah.
AJI Indonesia menilai untuk membahas isu di Jayapura dan melindungi jurnalis di sana, perlu dibentuk kelompok kerja (Pokja) khusus bersama dengan Dewan Pers. Pokja di Jayapura selain beranggotakan konstituen Dewan Pers juga ada pemangku kepentingan lainnya sebagai akselerasi peningkatan Indeks Kemerdekaan Pers di Jayapura.
Hal ini penting bagi Dewan Pers untuk tidak berhenti pada Indeks Kebebasan Pers saja, namun bertindak lebih jauh untuk melindungi keamanan jurnalis yang bekerja di wilayah Timur, untuk mendorong investigasi yang transparan dan imparsial atas kasus-kasus kekerasan pada jurnalis serta membuat mekanisme perlindungan secara multi stakeholder yang dapat diakses oleh jurnalis di Jayapura.
b. Activity Objective (Tujuan Kegiatan) Adapun kegiatan ini bertujuan untuk:
1. Menjadi sarana dialog dengan jaringan pembela kebebasan pers di Jayapura untuk memperkuat upaya mewujudkan kemerdekaan pers dan keselamatan jurnalis di Indonesia.
2. Mendorong Dewan Pers membentuk Pokja Papua untuk memperjuangkan kemerdekaan pers di Jayapura.
3. Membuat wadah pelatihan untuk mengakselerasi kompetensi jurnalis, pemahaman etik, dan bisnis media.
Artikel Terkait
Masyarakat Adat di Kabupaten Jayapura Siap Dukung MA Maju Cagub Papua 2024
SKPD Diminta Buat Program yang Nyata untuk Masyarakat
LTP Resmi Buka Kantor Perwakilan di Papua
Pj Bupati Lanny Jaya: Kami Turut Bangun Papua Pegunungan
Pj Bupati Jayapura datangi Warga RW VI Sentani Kota yang Kesulitan Air Bersih