BERAP (LINTAS PAPUA) - Ondoafi Berap, Piter Manggo Mengungkapkan Sebuah kisah masa lampau yang terjadi di wilayah adat Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, hingga kini masyarakat Kampung Berap masih ada di tempat itu.
Saat memberikan keterangan kepada Tim MC KMAN VI di lokasi Festival Kuliner ( 26/9/2022 ) bahwa, Masyarakat lokal Kampung Berap terdiri dari 5 Suku, Suku Manggo, Bue , Yosua, Tarko, dan Kase.
Baca Juga: Dewan Soroti Obhe yang Belum Dibangun Disbudpar Kab. Jayapura di Beberapa Kampung
Jumlah Penduduk diperkirakan mencapai 300 jiwa dan pada umumnya bercocok tanam.
Piter Manggo bercerita, peristiwa masa lampau mengisahkan, bahwa dahulu suku-suku di Nimboran dan Kemtuk berkumpul di satu tempat yang bernama "Remeh." Kemudian mulai berpencar menduduki wilayah-wilayah dataran di lembah Grime.
Rentetan peristiwa masa lampau terus terjadi di tempat itu, Suku Manggo yang artinya Awan, didatangi oleh Awan putih di tempat perkumpulan itu lalu menyuruhnya keluar dan menempati wilayah (Kwafe/Kali Biru ) yang berbatasan dengan Demta.
Cerita Kwafe atau istilah wilayah kali biru Berap pada awal mulanya dikenal dengan tempat bermain dan tempat menari burung hitam putih berekor panjang.

Onfoafi Piter Manggo menjelaskan bahwa Istilah Kwafe ini adalah nama burung hitam putih, yang selalu menari riang saat memandang keindahan air kali yang biru serta bunyi derasnya air itu, melihat orang mandi disinipun burung Kwafe gembira dan selalu melompat-lompat dan menari-nari.
Istilah asli Kali Biru sendiri dalam bahasa Nimboran adalah "NGGAM" yang artinya Pemberian Tuhan, Atau Anugerah Tuhan, sehingga sampai dengan sekarang masyarakat Berap menjaga dan melestarikan nya sebagai bentuk tanggung jawab menjaga Pemberian Tuhan kepada mereka.
Baca Juga: Komisi Informasi Papua Peringati Hari Hak untuk Tahu Sedunia di Kabupaten Mappi
Kehidupan masyarakat Berap masih terikat erat dengan sistim budaya adat istiadat, disinggung soal larangan adat dan sangsi,. Ondoafi Berap mengatakan bahwa. Aturan-aturan adat itu tidak tertulis tapi tersirat, ( Ada menyatu dengan Alam semesta ) setiap Generasi lahir dan besar diajarkan soal tata Krama dan budaya, aturan-aturan adat itu melekat dengan sendirinya, suatu keputusan dalam Peradilan adat disini untuk memberikan sangsi sebagai hukuman, itu cukup dengan menyerahkannya kepada matahari, Itu tidak lama orang yang melakukan pelanggaran akan mati, itu yang dikenal dengan sebuah sangsi yang paling berat dan yang paling ditakuti. (Kromsian/MC KMAN)
Artikel Terkait
Panitia Pindahkan Lokasi Pembukaan dan Penutupan Kongres AMAN VI ke SBY
Terkait Kongres AMAN, Bupati Mathius Awoitauw Harap Adanya Dukungan Dari Pemprov Papua
Respon UMKM Masyarakat Adat Sambut Kongres AMAN VI Tahun 2022
Pemantapan Jelang Kongres Masyarakat Adat Nusantara, Panitia Lokal Kota Jayapura Gelar Rapat Persiapan
Pengda INI Kabupaten Jayapura Dukung Penuh Kongres ke-XXIV INI Digelar di Jawa Barat
Masyarakat Hukum Adat Kayo Pulau Antusias Sambut Kongres KAMAN VI
Kampung Nendali Siap Mensukseskan Kongres AMAN VI
Sambut Kongres Masyarakat Adat Nusantara Polisi Bersama Pemda Laksanakan Kerja Bakti
Pulau Metu Debi, Kampung Enggros Siap Jadi Tempat Serasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara 2022
Puluhan Speed Persiapan Kongres Masyarakat Adat Nusantara, Puluhan Speedboad diKampung Enggros Disiapkan